BAB I
PENDAHULUAN
Silih bergantinya hari dan bulan
merupakan suatu nikmat yang besar bagi ummat manusia. Betapa Allah telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya sehingga sebagai umat muslim kita dapat
menjumpai bulan nan suci ini. Sungguh berbahagialah orang – orang yang beriman.
Berkenaan
dengan Bulan Ramadhan maka tak lupa ibadah shunnah yang kita laksanakan pada
malam harinya yakni Sholat Tarawih,maka berikut kami akan membahas tentang
Sholat Tarawih.
Pengertian
Secara bahasa, kata tarawih (ﺗﺮاوﯾﺢ) adalah bentuk jama' dari bentuk
tunggalnya, yaitu tarwihah (ﺗﺮوﯾﺤﺔ). Maknanya secara bahasa adalah istirahat.
Tapi yang dimaksud adalah duduk dengan jeda waktu agak lama di antara rangkaian
rakaat-rakat shalat itu. Secara syariah, shalat tarawih adalah : shalat sunnah
yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan, dengan dua-dua rakaat, dimana
para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya.
BAB II
RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Lafadz
hadist yang di takhrij
2. Kajian
Hadits
3. Bacaan
yang di baca saat Tarawih
4. Status
hukum hadist
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Lafadz hadist yang di takhrij
Sejak zaman dahulu umat
Islam seringkali disibukkan dengan perdebatan tentang jumlah rakaat shalat
tarawih. Ada yang berpendapat 20 rakaat plus tiga rakaat witir, ada yang
berpendapat 8 rakaat plus 3 rakat witir. Bahkan ada juga yang melakukannya
dengan 36 rakaat, atau tidak membatasi jumlahnya.
1. Dua
Puluh Rakaat / Dua Puluh Tiga Rakaat
As Suyuthi
mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah
untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk
melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada
hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh
beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan
jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak
melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah
wajib.”
Ibnu Hajar Al
Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at.
Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat
lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al
Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari
hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if.
Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at
juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri
lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul
Bari, 6/295)
Para pemuka ilmu fiqih Islam yang sudah sampai
level mujtahid mutlak, yaitu jumhur (mayoritas) ulama, baik dari mazhab
Al-Hanafiyah, sebagian kalangan mazhab AlMalikiyah, mazhab Asy-Syafi’iyah dan
mazhab Al-Hanabilah telah berijma’ bahwa shalat tarawih itu berjumlah 20
rakaat. 1 Pendapat 20 rakaat ini juga didukung oleh Ad-Dasuki yang mengatakan
bahwa para shahabat dan tabi’in seluruhnya melakukan shalat tarawih 20 rakaat.1
Ibnu Abidin mengatakan bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah amalan yang
dikerjakan oleh seluruh umat baik di barat maupun di timur. 2 Ali As-Sanhuri
mengatakan bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah amal yang dikerjakan oleh
semua manusia dari masa lalu hingga masa kita sekarang ini di semua wilayah
Islam.3 Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih
selain 20 rakaat adalah 36 rakaat. Al-Hanabilah mengatakan bahwa shalat tarawih
20 rakaat dilakukan di hadapan shahabat dan sudah mencapai kata ijma’, dimana
nash-nash tentang itu amat banyak.4 Al-Hanabilah juga mengatakan bahwa shalat
tarawih jangan sampai kurang dari 20 rakaat, dan tidak mengapa bila jumlahnya
lebih dari itu.5 Masjid Al-Haram di
Mekkah dan masjid An-Nabawi di Madinah Al-Munawwarah sampai kini masih
menerapkan shalat tarawih dengan 20 rakaat, sebagaimana disaksikan dan
dikerjakan oleh semua jamaah umrah Ramadhan secara langsung. Pendiri perserikatan
Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, semasa hidup beliau juga melakukan shalat
tarawih sebanyak 20 rakaat, sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa
Ya’qub, MA. 6 Padahal umumnya warga
Muhammadiyah telah diarahkan
oleh Majelis Tarjihnya untuk mengerjakan shalat tarawih hanya 8 delapan
rakaat. Hadhratus Syeikh KH. M. Hasyim
Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, juga melaksanakan shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat di masa hidupnya.
2. Tidak
Ada Batasan
Ibnu
‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan
jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan),
termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit
raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid,
21/70)
Selain
itu juga ada pendapat yang menyebutkan bahwa shalat tarawih tidak ada batasan
jumlah rakaatnya, boleh dikerjakan berapun jumlahnya. Sebagaimana disebutkan
oleh As-Suyuti. Ibnu Taimiyah juga tidak memberikan batasan minimal atau
maksimal jumlah rakat tarawih. Beliau menganjurkan shalat tarawih dilakukan
antara bilangan 10 hingga 40 rakaat
3. Delapan
Rakaat \ Sebelas Rakaat
“Dari
Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
يَزِيدُ فِى
رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” “(HR.
Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Adapun
shalat tarawih 8 rakaat plus witir 3 rakaat, tidak ada seorang ulama pun yang
menyebutkannya dari kalangan salaf bahkan hingga sepanjang 14 abad ini sejarah
Islam, kecuali pendapat orang-orang di akhir zaman, seperti AshShan’ani (w.1182
H), Al-Mubarakfury (w. 1353 H) dan AlAlbani. Ash-Shan’ani penulis Subulus-salam sebenarnya tidak sampai
mengatakan shalat tarawih hanya 8 rakaat, beliau hanya mengatakan bahwa shalat
tarawih itu tidak dibatasi jumlahnya. Sedangkan Al-Mubarakfury memang lebih
mengunggulkan shalat tarawih 8 rakat, tanpa menyalahkan pendapat yang 20
rakaat. Tetapi yang paling ekstrim adalah pendapat Al-Albani yang sebenarnya tidak
termasuk kalangan ahli fiqih. Dia mengemukakan pendapatnya yang menyendiri
dalam kitabnya, Risalah Tarawih, bahwa shalat tarawih yang lebih dari 8 plus
witir 3 rakaat, sama saja dengan shalat
Dzhuhur 5 rakaat. Selain tidak sah juga dianggap berdosa besar bila dikerjakan.
Sayangnya, pendapat Al-Albani yang bermasalah itu kemudian dijadikan rujukan satu-satunya
dalam bertaqlid buta oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, tanpa penelitian yang
mendalam lewat ilmu kritik hadits.
2.
Kajian Hadits
Kajian
Hadits Sebenarnya yang menjadi titik perbedaan para ulama tentang jumlah
bilangan rakaat shalat tarawih adalah karena tidak ada hadits yang menyebutkan
berapa jumlah rakaat shalat tarawih Rasulullah SAW yang meyakinkan secara
mutlak. Yang ada hanyalah hadits tentang jumlah rakaat yang shalat tarawih yang
dilakukan oleh para shahabat seluruhnya saat shalat itu dihidupkan kembali di
masa khilafah Umar bin Al-Khattab. Dari
sanalah umat Islam mengambil kesimpulan bahwa kalau seandainya para shahabat
seluruhnya sepakat melakukan shalat tarawih di masa Umar dengan 20 rakaat, maka
logikanya, jumlah itulah yang dulu digunakan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan
hadits yang menyebutkan secara langsung bahwa Nabi SAW melakukan shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat bukan sekedar dhaif jiddan tapi sampai pada derajat mungkar,
matruk dan maudhu‘. Teks hadis ini
adalah dari Ibn Abbas, ia berkata :
كاَنَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِي رَمَضَا نَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرَ
“Nabi
SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan
Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat
rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi,
hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah
adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh
karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu)
atau minimal matruk (semi palsu).
Demikian
pula hadits yang menyebutkan bahwa Rasululah SAW 8 rakaat dalam tarawih juga
tidak kurang derajatnya dhaifnya dari yang 20 rakaat.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: صَلي بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ
ثَمَانِي رَكْعَاتٍ وَالْوِتْرَ
“Rasulullah SAW mengimami kami shalat pada
malam bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”. Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid
sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam
kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban
dari Jabir bin Abdullah.
Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut
Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar alhadits (hadis-hadisnya munkar). Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin
Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan
rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya ternyata seorang
pendusta yang haditsnya tidak boleh dipakai, harus ditinggalkan. Sayangnya, justru hadits inilah yang
dijadikan oleh Al-Albani dalam menunjang pendapatnya bahwa shalat tarawih itu 8 rakaat.
Padahal hadits ini oleh banyak ulama dipermasalahkan, lantaran ada perawi yang
bernama Isa bin Jariah ini. Konon
Al-Albani mengikuti pendapat Al-Mubarakfury, ulama dari India, dalam kitab
Tuhfatul Ahwadzi fi Syarh Jami At-Tirmizy ketika menerima hadits Jabir ini
sebagai hadits shahih. Alasan Al-Mubarakfury adalah bahwa hadits ini ada di
dalam dua kitab shahih, yaitu shahih Ibnu Khuzaemah dan shahih Ibnu Hibban.
Pendapat ini dikritisi oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar AlAsqalani, lantaran menurut
beliau, Imam Ibnu Khuzaemah termasuk orang yang agak tasahul atau memudahkan
dalam meloloskan keshahihan hadits.
Sebenarnya tidak mentang-mentang suatu hadits tertulis di kedua kitab
shahih itu, lantas dia sudah pasti 100% shahih. Lain halnya bila tercantum di
dua kitab shahih Bukari dan Muslim, seluruh ulama telah berijma’ bahwa kedua
kitab shahih itu menjadi jaminan bahwa semua hadits yang termaktub di dalamnya
adalah hadits yang shahih. Sebaliknya, bila hanya tercantum di dalam shahih
Ibnu Khuzaemah dan Ibnu Hibban, tidak selalu bisa dipastikan keshahihannya.
Lepas dari perdebatan ini, pada intinya hadits Jabir yang dijadikan landasan
oleh Al-Albani adalah hadits yang oleh banyak ulama dipermasalahkan derajatnya.
Jadi bila disandarkan pada
kedua hadits di atas, keduanya bukan dalil yang kuat untuk rakaat 8 atau 20
dalam tarawih.
Namun, perlu diketahui, hal
itu bukan berarti shalat delapan rakaat atau dua puluh rakaat itu tidak boleh.
Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis shalat tarawih delapan rakaat dan
hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya maudhu atau minimal matruk.
Jadi shalat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya
boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat
shalat tarawih Nabi.
3.
Bacaan Hukum Dalam Tarawih
Doa
atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat
tarawih sebenarnya tidak memiliki dasar masyru'iyah dari Rasulullah SAW. Baik
wirid itu dalam bentuk doa atau zikir atau syair-syair yang biasa dilantunkan
oleh para jamaah, kesemuanya tidak ada kaitannya dengan apa yang diajarkan
langsung oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat.
Sehingga
bila anda mendapati di setiap shalat tarawih ada perbedan bacaan, karena memang
tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih
berimprovisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari
tempat lain yang tidak mereka sendiri tidak tahu dasar masyru'iyahnya. Apalagi
maknanya sehingga semua itu berlangsung begitu saja tanpa kejelasan
hukumnya.
Disinilah
sesungguhnya kita umat Islam dituntut untuk belajar secara serius tentang
praktek ibadah kita langsung dari sumber yang muktamad dan kepada para ulama
yang faqih di bidangnya.
4.
Status Hukum Hadits
Sedangkan
hadits yang shahih dimana semua kalangan menerimanya secara bulat, sama sekali
tidak menyebut jumlah rakaat shalat tarawih.
‘‘Siapa yang shalat pada bulan Ramadhan karena
iman dan mengharapkan pahala Allah, maka allah akan mengampuni dosanya (yang
kecil-kecil).‘‘ (HR. Bukhari)
Dan
khusus bagi yang menjalankan shalat tarawih adalah ijma atau konsensus para
sahabat Nabi SAW, dimana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka‘ab
menjadi imam shalat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari
sahabat Nabi yang memprotes hal itu.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa rakaat
yang terdapat dapat shalat tarawih itu tidak ada batasan dalam
melaksanakannya.karena, dalam hal ini pun para ulama madzhab berbeda pendapat
mengenai berapa rakaat dalam shalat tarawih, maka yang harus kita lakukan
adalah mengikuti apa yang Nabi lakukan dan menggambil dalil dari Al qur’an dan
sunnah.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah makalah ini
saya buat mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan di dalamnya
karena di dalamnya masih jauh kurang sempurna dan terimakasih kepada dosen
pengampu yang telah membimbing selama ini , semoga kita selalu berada menjadi hamba
yang di ridhoi oleh Allah S.W.T Amin Ya Robbal Alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Sarwat Ahmad.2011.Seri Fiqih Kehidupan.Kuningan:Setiabudi Jakarta
Selatan
·
Software Hadits Explorer
Alamat Blog : http://aekasit789.blogspot.com/
ไม่มีความคิดเห็น:
แสดงความคิดเห็น